Malam itu malam pertamanya melacurkan diri. Menjajakan dirinya demi sesuap nasi dan menawarkan kehangatan tubuhnya pada setiap lelaki iseng yang masih bergentayangan dijalan. Ia mendapatkan calon pasien pertamanya yang dengan tidak sengaja ternyata adalah anggota 'The Fingers'. Aparat keamanan negeri otoriternya yang siap menghukum dengan semena-mena siapapun yang tidak melaksanakan hukum sesuai dengan penafsirannya.
Namun malam itu ia beruntung. Sesosok pahlawan dengan topi tinggi dan topeng tersenyum menolongnya. Menghabisi 'The Fingers' dengan sekali gerakan dan mengajaknya bersembunyi diatas atap sebuah gedung. Hanya untuk melihat gedung parlemen London yang hancur berkeping-keping dari kejauhan. Hari itu 5 November adalah hari dimulainya Vendetta bagi pemerintahan yang otoriter.
Tetapi tenang saja! ini bukan kejadian nyata. Ini hanya kejadian didalam Novel Grafis karangan Allan Moore dan David Lloyd yang berjudul V for Vendetta. Bercerita tentang sesosok pahlawan korban kamp konsentrasi yang mendapatkan pencerahan melawan pemerintahan yang otoriter. Ia membebaskan rakyat Inggris yang terkungkung ketakutan dan memberi mereka napas baru untuk melawan.
Namun anda tidak akan melihat sosok 'V' --jagoan dalam novel grafis ini-- sebagai sosok kekar dan macho dengan wajah keras seperti Clark Kent superman. Namun anda akan melihat sosok 'V' memakai pakaian kstaria abad pertengahan dan topeng aneh yang selalu tersenyum. Sosoknya seperti menjadi pantomin dalam drama troubador. Ia pun mendengarkan musik klasik dan membaca banyak buku drama dan puisi-puisi penyair Inggris. Novel grafis ini meneror pikiran anda bukan saja dengan penampilan tokohnya dan ide dibalik ceritanya. Tetapi juga akan merubah persepsi anda tentang seorang tokoh jagoan yang seharusnya muncul dalam setiap komik.
Sama seperti komik Asterix yang saya baca sewaktu kecil. Sosok pahlawan Galia fiktif ini berani menantang kekuasaan Julius Caesar yang adalah seorang tokoh sejarah non-fiktif. Komik yang diciptakan pleh Gosciny dan Underzo ini terilhami oleh Vicigentorix, seorang pahlawan Perancis kuno yang dulu dinamakan Galia --daerah galia lebih luas dari Perancis modern saat ini, meliputi Perancis, Luxemberg, Belgia.
Asterix digambarkan bukan sebagai seseorang yang kekar dan bergaris muka keras namun sebaliknya ia digambarkan pendek dan mempunyai kumis khas eropa kuno. Temannya Obelix --seorang pandai batu-- malah digambarkan gembul dan terlihat lamban.
Namun mereka berdua dapat melawan kekuatan dan kelicikan romawi berkat bantuan ramuan dari dukun panoramix.
Seolah-olah kita diajarkan bahwa tidak harus perkasa dan hitam putih untuk menjadi pahlawan. Kita diajarkan bahwa kekonyolan dan parodi pun dapat menjadi tokoh pahlawan dalam dunia fiksi.
Kita tidak lagi memandang kekuatan perlawanan sebagai sesuatu yang tetap dan berbentuk organisasi yang radikal. Perlawanan dapat berbentuk individu dan inisiatif.
Kita telah biasa menunggu pahlawan untuk melakukan perubahan bagi kehidupan kita. Seperti seseorang yang menunggu godot yang tak pernah datang. Kita pasif dan meminta perbaikan bagi diri sendiri oleh orang lain.
V for Vendetta dan Asterix mengajarkan kita bahwa tidak ada kekuasaan otoriter yang tidak dapat dilawan. Hati nurani dan akal sehat harus dimulai dari kita sendiri dan sekarang. Tidak ada lagi ratu adil, ksatria piningit atau godot.
Kita sendiri yang harus melawan wacana-wacana basi yang terus menerus digulirkan para elit politik negeri ini. Kita sendiri yang harus berkata stop untuk diskusi berkepanjagan tentang siapa yang layak diberi gelar pahlawan. Kita sendiri yang harus menghentikan segala adu domba antar etnis, agama atau kelompok kepentingan hanya untuk keuntungan segelintir pihak.
Kita telah cukup mempunyai amunisi untuk melawan kebusukan-kebusukan yang dilakukan elit negeri ini. Dan kita akan mempunyai lebih dari cukup ketika kita melihat hati nurani dan akal sehat kita.
Kini saatnya kita bekerja untuk sesuatu yang dapat membangun negeri ini. Bukan pertentangan yang hanya membela sekelompok orang.
Saatnya kita melakukan pembalasan!